Sabtu, 12 Desember 2020

Peraturan tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 Tahun 2014
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a.  bahwa dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat telah diselenggarakan
Program Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, sebagai
upaya memberikan perlindungan kesehatan kepada
peserta untuk memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan;  
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan dalam upaya
memberikan pemahaman program Jaminan
Kesehatan Nasional  kepada seluruh stakeholder
terkait sehingga  pelaksanaannya dapat berjalan
dengan baik, efektif, efisien, transparan dan
akuntabel perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4456);
 
3. Undang-Undang…
 
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun  2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004  Nomor  125, Tambahan
Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan  UndangUndang
 Nomor  12  Tahun
 2008 tentang
Perubahan

Kedua
Atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik
Indonesia
Tahun
2008
Nomor 59,
Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  
Nomor 4844);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Tahun  1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 363);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi  Perangkat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun  2007 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4741);  
8. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012
tentang Penerima Bantuan Iuran (Lembaran Negara
Republik Indonesia  Nomor 264 Tahun  2012,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5372);  

9. Peraturan Pemerintah …
 
- 3 -
9. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 29) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun
2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 255);
10.  Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor  1392);
12.  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun  2013
Tentang  Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan
Kesehatan Nasional  (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1400);
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/
2013 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan
Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan
Penerima Bantuan Iuran;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan
Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan
Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik
Pemerintah Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 589);  
 
MEMUTUSKAN…
 
- 4 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL.
Pasal 1
Pengaturan Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
bertujuan untuk memberikan acuan bagi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan, Pemerintah (Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota) dan
Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan), peserta program
Jaminan Kesehatan Nasional dan pihak terkait dalam penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional.
Pasal 2
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-
prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu:
a. Dana amanat dan nirlaba dengan manfaat untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
b. Me nyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik
yang
cost effective dan rasional.

c. Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan portabilitas dan ekuitas.
d. Efisien, transparan dan akuntabel.
Pasal 3
Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dimaksud dalam
Pasal 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
 
 
 
 
- 5 -
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
 
    
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juni 2014

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
 ttd
 

      NAFSIAH MBOI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                  REPUBLIK INDONESIA,
 
 ttd
 
                     AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 874
 
- 6 -
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

PEDOMAN PELAKSANAAN
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
 
A. Latar Belakang
BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai dengan falsafah dasar negara Pancasila terutama sila
ke-5 mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hal ini juga
termaktub dalam pasal 28H dan pasal 34 Undang-Undang Dasar
1945. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau.  
Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial
terus berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal
l34 ayat 2, yaitu menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
dimasukkannya Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945,
kemudian terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat
bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki
komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyatnya. Melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial, pada hakekatnya
bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Untuk mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat
resolusi WHA ke-58 tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap
negara mengembangan Universal Health Coverage (UHC)  bagi seluruh
 
- 7 -
penduduk, maka pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat melalui program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah
dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang
kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil,
penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui
skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema
tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya Kesehatan
dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.   
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2004 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 ini
mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh
penduduk termasuk program Jaminan Kesehatan melalui suatu
badan penyelenggara jaminan sosial.
Badan penyelenggara jaminan sosial telah diatur dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari  BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Untuk program Jaminan Kesehatan yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya telah dimulai
sejak 1 Januari 2014. Program tersebut selanjutnya disebut sebagai
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengaturan teknis
pelaksanaan lebih lanjut program JKN dituangkan dalam berbagai
peraturan sebagai turunan dari kedua Undang-Undang tersebut
diatas, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes),
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes), Surat Edaran (SE)
Menteri Kesehatan, Pedoman Pelaksanaan (Manlak), Petunjuk Teknis
(Juknis), Panduan Praktis dan lain-lain.
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) ini memuat berbagai ketentuan pokok yang
selanjutnya dijabarkan dalam berbagai petunjuk teknis sehingga
diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional.
 
 
- 8 -

B. Tujuan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk
manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

C. Sasaran  
Sasaran Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) ini adalah seluruh komponen mulai dari pemerintah
(pusat dan daerah), BPJS, fasilitas kesehatan, peserta dan pemangku
kepentingan lainnya sebagai acuan dalam pelaksanaan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

D. Ruang Lingkup  
Ruang lingkup pengaturan dalam Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini meliputi
penyelenggaraan, peserta dan kepesertaan, pelayanan kesehatan,
pendanaan, badan penyelenggara dan hubungan antar lembaga,
monitoring dan evaluasi, pengawasan, dan penanganan keluhan.














 
 
- 9 -
BAB II
PENYELENGGARAAN

A. Ketentuan Umum  
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme
asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan. Perlindungan ini diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
pemerintah.
Unsur-unsur penyelenggaraan dalam Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) meliputi:
1. Regulator
Yang meliputi berbagai kementerian/lembaga terkait antara lain
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam
Negeri, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
2. Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah
seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja
paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar
iuran.
3. Pemberi Pelayanan Kesehatan
Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah seluruh fasilitas layanan
kesehatan primer (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan
rujukan (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut)
4. Badan Penyelenggara
Badan Penyelenggara adalah badan hukum publik yang
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
 
 

 
 
- 10 -
B. Prinsip Prinsip Penyelenggaraan
Dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan) mengacu pada prinsip-prinsip sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu:  
1. Kegotongroyongan
 Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), prinsip gotong
royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini
terwujud karena kepesertaannya bersifat wajib untuk seluruh
penduduk.  
2. Nirlaba  
Dana yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah dana amanah yang
dikumpulkan dari masyarakat secara nirlaba bukan untuk
mencari laba (for profit oriented). Tujuan utamanya adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.
3. Keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas.
 Prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4. Portabilitas
 Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun
mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kepesertaan  bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat
wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah, serta kelayakan
penyelenggaraan program.  
6. Dana Amanah
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan
kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam
rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan
peserta.
 
- 11 -
7. Hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial
Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan peserta.







 
 
- 12 -
BAB III
PESERTA DAN KEPESERTAAN

A. Ketentuan Umum
1. Peserta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
meliputi :
a. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,
yang telah membayar iuran atau yang iurannya dibayar
pemerintah.
b. Peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terdiri
atas 2 kelompok yaitu: Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
jaminan kesehatan dan Peserta bukan Penerima Bantuan
Iuran (PBI) jaminan kesehatan.
c. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.  
d. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan
kesehatan adalah Pekerja Penerima Upah dan anggota
keluarganya, Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota
keluarganya, serta bukan Pekerja dan anggota keluarganya.
2. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberikan nomor
identitas tunggal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan). Bagi peserta: Askes sosial dari PT.
Askes (Persero), jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) dari PT.
(Persero) Jamsostek, program Jamkesmas dan TNI/POLRI yang
belum mendapatkan nomor identitas tunggal peserta dari Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), tetap
dapat mengakses pelayanan dengan menggunakan identitas yang
sudah ada.  
3. Anak pertama sampai dengan anak ketiga dari peserta pekerja
penerima upah sejak lahir secara otomatis dijamin oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
4. Bayi baru lahir dari :
a. peserta pekerja bukan penerima upah;
b. peserta bukan pekerja;
c. peserta pekerja penerima upah untuk anak keempat
dan seterusnya;
 
 
- 13 -
harus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak
yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila
pasien dirawat kurang dari 3 hari).  Jika sampai waktu yang telah
ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas
peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum.  
5. Menteri Sosial berwenang menetapkan data kepesertaan Penerima
Bantuan Iuran (PBI). Selama seseorang ditetapkan sebagai peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI), maka yang bersangkutan berhak
mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan dalam Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).  
6. Sampai ada pengaturan lebih lanjut oleh Pemerintah tentang
jaminan kesehatan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) maka gelandangan, pengemis, orang terlantar dan
lain-lain menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Demikian
juga untuk penghuni panti-panti sosial serta penghuni
rutan/lapas yang miskin dan tidak mampu.

B. Mekanisme Penetapan dan Pemutakhiran Data Penerima Bantuan
Iuran (PBI)
1. Penetapan Kriteria dan Pendataan Penerima Bantuan Iuran (PBI)
 Penetapan kriteria peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
dilakukan oleh Kementerian Sosial. Berdasarkan kriteria tersebut
dilakukan pendataan dan validasi oleh Dinas Sosial
Kabupaten/kota setempat. Selanjutnya data hasil validasi
diteruskan ke Kementerian Sosial untuk ditetapkan sebagai
sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Penetapan Peserta
 Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
ditetapkan oleh Menteri Sosial, yang selanjutnya didaftarkan oleh
Kementerian Kesehatan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan) sebagai peserta Penerima Bantuan
Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.  
3. Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran (PBI)
Perubahan data Penerima Bantuan Iuran (PBI) terdiri atas 2 yaitu:
 
- 14 -
a. Penghapusan data Penerima Bantuan Iuran (PBI) antara lain
karena peserta meninggal dunia atau peserta tersebut sudah
memiliki kemampuan membayar iuran.
b. Penambahan data Penerima Bantuan Iuran (PBI) antara lain
karena pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dan belum bekerja setelah lebih dari 6 bulan, korban bencana,
anggota keluarga dari pekerja yang meninggal dunia dan anak
yang dilahirkan oleh orang tua yang terdaftar sebagai
Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Usulan perubahan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dapat dilakukan
dari daerah dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Usulan data calon pengganti Penerima Bantuan Iuran (PBI)
melalui proses verifikasi yang merupakan bagian dari kegiatan
pemutakhiran Basis Data Terpadu. Pemutakhiran data diawali
dengan kegiatan Musyawarah Desa/Musyawarah Kelurahan
(Musdes/Muskel) untuk mengusulkan Penerima Bantuan
Iuran (PBI) pengganti. Kemudian dilakukan verifikasi oleh
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).  
b. Dokumen hasil verifikasi pengganti kemudian dientri oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten/kota.  
c. Dinas Sosial Kabupaten/kota melakukan validasi terhadap
data usulan tersebut, selanjutnya diproses dengan
penambahan karakteristik Penerima Bantuan Iuran (PBI)
pengganti kemudian dilakukan pemeringkatan Penerima
Bantuan Iuran (PBI)  dan selanjutnya dilakukan verifikasi dan
validasi untuk menjadi basis data terpadu Penerima Bantuan
Iuran (PBI)  Jaminan Kesehatan.  
Mekanisme selanjutnya diatur di dalam Panduan Teknis Verifikasi
dan Validasi Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan
Kesehatan.
Perubahan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan
Kesehatan dilakukan oleh Menteri Sosial. Perubahan data
Penerima Bantuan Iuran (PBI) dilakukan oleh Menteri Sosial
melalui verifikasi dan validasi setiap 6 (enam) bulan dalam tahun
anggaran berjalan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
 
 
 
- 15 -
C. Pendaftaran Peserta
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
a. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
didaftarkan oleh Pemerintah sebagai peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Penduduk yang belum termasuk sebagai peserta jaminan
kesehatan dapat diikutsertakan dalam program Jaminan
Kesehatan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan) oleh pemerintah daerah provinsi
atau pemerintah daerah kabupaten/kota.  
b. Bayi yang lahir dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
dicatat dan dilaporkan oleh fasilitas kesehatan kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Mekanisme penetapan selanjutnya akan diatur oleh
Kementerian Sosial.
2. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI)
a. Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja yang
bersangkutan dapat mendaftarkan diri sebagai peserta kepada
BPJS Kesehatan;
b. Pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja wajib
mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta kepada
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan). Proses pendaftaran dapat dilakukan secara
bertahap baik perorangan atau seluruh anggota keluarga.
Prosedur pendaftaran peserta dan tata cara perubahan daftar
susunan keluarga/mutasi kepesertaan diatur lebih lanjut dalam
Panduan Teknis Kepesertaan yang dikeluarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).

D. Hak dan Kewajiban Peserta
 Setiap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berhak:
1. Mendapatkan nomor identitas tunggal peserta.
2. Memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan).
3. Memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
 
- 16 -
Kesehatan) sesuai yang diinginkan. Perpindahan fasilitas
kesehatan tingkat pertama selanjutnya dapat dilakukan setelah 3
(tiga) bulan. Khusus bagi peserta: Askes sosial dari PT. Askes
(Persero), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari PT.
(Persero) Jamsostek, program Jamkesmas dan TNI/POLRI, 3 (tiga)
bulan pertama penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ditetapkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan).  
4. Mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan terkait
dengan pelayanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
Setiap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkewajiban
untuk:
1. Mendaftarkan diri dan membayar iuran, kecuali Penerima
Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan pendaftaran dan
pembayaran iurannya dilakukan oleh Pemerintah.
2. Mentaati prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.
3. Melaporkan perubahan data kepesertaan kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
dengan menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili,
pindah kerja, menikah, perceraian, kematian, kelahiran dan lainlain.


E. Tahapan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Tahapan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai
dengan peta jalan (roadmap) menuju jaminan kesehatan semesta/
Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2019. Pada tahap awal
kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai
1 Januari 2014 terdiri dari peserta PBI Jaminan Kesehatan
(pengalihan dari program Jamkesmas), Anggota TNI dan PNS di
lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya,
Anggota POLRI dan PNS di lingkungan POLRI, dan anggota
keluarganya, peserta asuransi kesehatan sosial dari PT. Askes
(Persero) beserta anggota keluarganya, peserta jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK) dari PT. (Persero) Jamsostek  dan anggota
keluarganya, peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang
telah berintegrasi dan peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah
 
- 17 -
dan pekerja penerima upah). Tahap selanjutnya sampai dengan tahun
2019 seluruh penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
 
- 18 -
BAB IV
PELAYANAN KESEHATAN

A. Ketentuan Umum
1. Setiap peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan
meliputi:  
a. pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)
dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP),
b. pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL),
Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL);  
c. pelayanan gawat darurat; dan
d. pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh menteri.
2. Manfaat jaminan yang diberikan kepada peserta dalam bentuk
pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif)
berdasarkan kebutuhan medis yang diperlukan.
3. Pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan yang telah
melakukan perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan atau
pada keadaan tertentu (kegawatdaruratan medik atau darurat
medik) dapat dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang tidak
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
4. Pelayanan kesehatan dalam program JKN diberikan secara
berjenjang, efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip kendali
mutu dan kendali biaya.
5. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan
tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan
tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat
darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien,
pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.     
6. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) penerima
rujukan wajib merujuk kembali peserta JKN disertai jawaban dan
tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis peserta
sudah dapat dilayani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) yang merujuk.
 
 
 
 
- 19 -
7. Program Rujuk Balik (PRB) pada penyakit-penyakit kronis
(diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), epilepsy, skizofren, stroke, dan
Sindroma Lupus Eritematosus) wajib dilakukan bila kondisi pasien
sudah dalam keadaan stabil, disertai dengan surat keterangan
rujuk balik yang dibuat dokter spesialis/sub spesialis.
8. Rujukan partial dapat dilakukan antar fasilitas kesehatan dan
biayanya ditanggung oleh fasilitas kesehatan yang merujuk  
9. Kasus medis yang menjadi kompetensi FKTP harus diselesaikan
secara tuntas di FKTP, kecuali terdapat keterbatasan SDM,
sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan tingkat pertama.  
10. Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).  Bila
pasien berkeinginan menjadi peserta JKN dapat diberi
kesempatan untuk melakukan pendaftaran dan pembayaran
iuran peserta JKN dan selanjutnya menunjukkan nomor identitas
peserta JKN selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang
bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien
dirawat kurang dari 3 hari).  Jika sampai waktu yang telah
ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas
peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum.  
11. Pada daerah yang tidak terdapat fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat (ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat
dengan pertimbangan BPJS Kesehatan dan asosiasi fasilitas
kesehatan)  dan peserta memerlukan pelayanan kesehatan, maka
peserta diberikan kompensasi oleh BPJS Kesehatan. Pemberian
kompensasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
12. Dalam hal tidak terdapat dokter spesialis pada suatu daerah
dimungkinkan untuk mendatangkan dokter spesialis di FKRTL
dengan persyaratan teknis dan administratif yaitu :   
a. Diketahui oleh Dinas Kesehatan dan BPJS setempat.
b. Transportasi tidak bisa ditagihkan.
c. Menggunakan pola pembayaran INA-CBGs sesuai dengan kelas
FKRTL dokter.
 
Pelayanan kesehatan bagi peserta penderita penyakit HIV dan AIDS,
Tuberculosis (TB), malaria serta kusta dan korban narkotika yang
memerlukan rehabilitasi medis, pelayanannya dilakukan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama yang merupakan bagian dari pembayaran
kapitasi dan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan tetap dapat
diklaimkan sesuai tarif INA-CBGs, sedangkan obatnya menggunakan
obat program.


 
 
 
- 20 -
Obat program disediakan oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Jenis obat, fasilitas kesehatan yang melayani
program tersebut, mekanisme distribusi obat, diatur sesuai dengan
ketentuan masing-masing program.
 
B. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan untuk peserta JKN terdiri atas fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
(FKRTL). FKTP dimaksud adalah:
1. Puskesmas atau yang setara,
2. Praktik Dokter,
3. Praktik dokter gigi,
4. Klinik Pratama atau yang setara,
5. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat dokter
berdasarkan penetapan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan
dan/atau praktik perawat untuk memberikan Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.  
Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) berupa:
1. Klinik utama atau yang setara,
2. Rumah Sakit Umum,
3. Rumah Sakit Khusus.

C. Manfaat Jaminan Kesehatan
Manfaat JKN terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu manfaat medis
dan manfaat non-medis.  Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan
yang komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
sesuai dengan indikasi medis yang tidak terikat dengan besaran iuran
yang dibayarkan.  Manfaat non-medis meliputi akomodasi dan
ambulan. Manfaat akomodasi untuk layanan rawat inap sesuai hak
kelas perawatan peserta. Manfaat ambulan hanya diberikan untuk
pasien rujukan antar fasilitas kesehatan, dengan kondisi tertentu
sesuai rekomendasi dokter.

 
 
- 21 -
1. Manfaat  yang dijamin dalam JKN terdiri dari :
a. Pelayanan kesehatan di FKTP merupakan pelayanan
kesehatan non-spesialistik yang meliputi :
1) Administrasi pelayanan;
2) Pelayanan promotif dan preventif;
3) Pemeriksanaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
4) Tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun
non-operatif;
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat
pratama; dan
8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud
diatas untuk pelayanan medis mencakup:
1) Kasus medis yang dapat diselesakan secara tuntas di
pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Kasus medis yang membutuhkan penanganan awal
sebelum dilakukan rujukan;
3) Kasus medis rujuk balik;
4) Pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan pelayanan
kesehatan gigi tingkat pertama;
5) Pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi, dan
anak balita oleh bidan atau dokter; dan
6) Rehabilitasi medik dasar.
 
 
b. Pelayanan Kesehatan di FKRTL/Rujukan Tingkat Lanjutan
yang mencakup:
1) Administrasi pelayanan;
2) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis;
3) Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non-
bedah sesuai dengan indikasi medis;
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
5) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis;
 
- 22 -
6) Rehabilitasi medis;
7) Pelayanan darah;
8) Pelayanan kedokteran forensik klinik;
9) Pelayanan jenazah (pemulasaran jenazah) pada pasien
yang meninggal di fasilitas kesehatan (tidak termasuk peti
jenazah);
10) Perawatan inap non-intensif;
11) Perawatan inap di ruang intensif; dan
12) Akupunktur medis.

 
c. Manfaat pelayanan promotif dan preventif
1) Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit
penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit
dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2) Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG),
Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB), Polio,
dan Campak.  
3) Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi
dasar, vasektomi, tubektomi, termasuk komplikasi KB
bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga
berencana.
4) Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar
disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
5) Pelayanan skrining kesehatan tertentu diberikan secara
selektif untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah
dampak lanjutan, yaitu:
a) Diabetes mellitus tipe II;
b) Hipertensi;
c) Kanker leher rahim;
d) Kanker payudara; dan
e) Penyakit lain yang ditetapkan Menteri.
6) Pelayanan skrining kesehatan tertentu dalam poin 5)
merupakan pelayanan yang termasuk dalam lingkup nonkapitasi,
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pemeriksaan penunjang

pelayanan
skrining kesehatan meliputi
:

a)

Pemeriksaan Gula Darah;
b) Pemeriksaan IVA untuk kasus Ca Cervix ; dan
 
- 23 -
c) Pemeriksaan Pap Smear
7) Khusus untuk kasus dengan pemeriksaan IVA positif
dapat dilakukan pelayanan Terapi Krio.
 
d. Manfaat Pelayanan Kebidanan dan Neonatal dalam JKN :
1) Pemeriksaan ANC berupa pemeriksaan fisik, pengukuran
tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan tekanan
darah, pengukuran lingkar lengan atas, pemeriksaan
tinggi fundus uteri, pemeriksaan denyut jantung janin,
pemeriksaan posisi janin, pemeriksaan Hb, pemeriksaan
golongan darah, tes celup glukoprotein urin, imunisasi,
pemberian suplemen besi dan asam folat, dan konseling,
serta mengonsultasikan ke dokter pada trimester pertama
atau sedini mungkin.
2) Pemeriksaan ANC sesuai standar diberikan dalam bentuk
paket minimal 4 (empat) kali pemeriksaan.
3) Pemeriksaan PNC/neonatus sesuai standar diberikan
dalam bentuk paket minimal 3 (tiga) kali kunjungan ibu
dan 3 (tiga) kali kunjungan bayi.
4) pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan
kewenangannya.

e. Pelayanan alat kesehatan
 
Pelayanan alat kesehatan yang jenis dan plafon harga
ditetapkan oleh Menteri. Pelayanan alat bantu kesehatan yang
dijamin meliputi :

NO
 
ALAT
KESEHATAN
KETENTUAN
1 Kacamata 1. Diberikan paling cepat 2 (dua) tahun
sekali
2. Indikasi medis minimal:
- Sferis 0,5D
- Silindris 0,25D
-  
2 Alat bantu dengar Diberikan paling cepat 5 (lima) tahun
sekali atas indikasi medis
 

NO

ALAT
- 24 -
KESEHATAN
KETENTUAN
3 Protesa alat gerak 1. Protesa alat gerak adalah:
a. Kaki palsu
b. Tangan palsu
2. Diberikan paling cepat 5 (lima) tahun
sekali atas indikasi medis
4 Protesa gigi Diberikan paling cepat 2 (dua) tahun sekali
atas indikasi medis untuk gigi yang sama
5 Korset tulang
belakang
Diberikan paling cepat 2 (dua) tahun sekali
atas indikasi medis
6 Collar neck Diberikan paling cepat 2 (dua) tahun sekali
atas indikasi medis
7 Kruk Diberikan paling cepat 5 (lima) tahun
sekali atas indikasi medis

2. Manfaat yang tidak dijamin dalam program JKN meliputi:  
a. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku;
b. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan
yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali
dalam keadaan darurat;
c. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat
kecelakaan kerja atau hubungan kerja;
d. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang
ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas;
e. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;
f. Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
g. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
h. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);
i. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri,
atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;
j. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional,
termasuk akupunktur non medis, shin she, chiropractic, yang
belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi
kesehatan (health technology assessment);
 
- 25 -
k. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai
percobaan (eksperimen);  
l. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu;
m. Perbekalan kesehatan rumah tangga;
n. Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap
darurat, kejadian luar biasa/wabah;
o. Biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan
yang dapat dicegah (preventable adverse events);. Yang
dimaksudkan preventable adverse events adalah cedera yang
berhubungan dengan kesalahan/kelalaian penatalaksanaan
medis termasuk kesalahan terapi dan diagnosis,
ketidaklayakan alat dan lain-lain sebagaimana kecuali
komplikasi penyakit terkait.
p. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan
Manfaat Jaminan Kesehatan yang diberikan.

D. Pelayanan Obat, Penyediaan Obat dan Penggunaan obat
1. Pelayanan Obat
a. Pelayanan obat untuk Peserta JKN di FKTP dilakukan oleh
apoteker di instalasi farmasi klinik pratama/ruang farmasi di
Puskesmas/apotek sesuai ketentuan perundang-undangan.  
Dalam hal di Puskesmas belum memiliki apoteker maka
pelayanan obat dapat dilakukan oleh tenaga teknis
kefarmasian dengan pembinaan apoteker dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

b. Pelayanan obat untuk Peserta JKN di FKRTL dilakukan oleh
apoteker di instalasi farmasi rumah sakit/klinik utama
/apotek sesuai ketentuan perundang-undangan.   
c. Pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan
mengacu pada daftar obat yang tercantum dalam Fornas dan
harga obat yang tercantum dalam e-katalog obat.  
d. Pengadaan obat menggunakan mekanisme e-purchasing
berdasarkan e-katalog atau bila terdapat kendala operasional
dapat dilakukan secara manual.
e. Dalam hal jenis obat tidak tersedia di dalam Formularium
Nasional dan harganya tidak terdapat dalam e-katalog, maka
pengadaannya dapat menggunakan mekanisme pengadaan
yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
 
- 26 -
(Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

Dalam hal faskes mengalami kendala ketersediaan obat
sebagaimana yang tercantum pada e-katalog maka dapat
menghubungi  Direktorat Bina Obat Publik dengan alamat
email: e_katalog@kemkes.go.id atau 081281753081 dan
(021)5214872.

Setiap laporan kendala ketersediaan obat harus disertai
dengan informasi:
a. nama, sediaan dan kekuatan obat
b. nama pabrik obat dan nama distributor obat
c. tempat kejadian (nama dan alamat kota/kabupaten dan
propinsi, depo farmasi/apotek/instalasi farmasi Rumah
Sakit pemesan obat)
d. tanggal pemesanan obat
e. hasil konfirmasi dengan distributor setempat
f. hal-hal lain yang terkait

2. Penyediaan Obat
Penyediaan obat di fasilitas kesehatan dilaksanakan dengan
mengacu kepada Fornas dan harga obat yang tercantum dalam ekatalog
obat.
Pengadaan obat dalam e-katalog menggunakan mekanisme epurchasing,
atau bila terdapat kendala
operasional dapat

dilakukan
secara

manual. Dalam hal jenis obat tidak tersedia
dalam Fornas dan harganya tidak terdapat dalam e-katalog, maka
pengadaannya dapat menggunakan mekanisme pengadaan yang
lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

3. Penggunaan Obat Di Luar Formularium nasional
Pada pelaksanaan pelayanan kesehatan, penggunaan obat
disesuaikan dengan standar pengobatan dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Apabila dalam pemberian pelayanan
kesehatan, pasien membutuhkan obat yang belum tercantum di
Formularium nasional, maka hal ini dapat diberikan dengan
ketentuan sebagai berikut:
 
- 27 -
a. Penggunaan obat di luar Formularium nasional di FKTP dapat
digunakan apabila sesuai dengan indikasi medis dan sesuai
dengan standar pelayanan kedokteran yang biayanya sudah
termasuk dalam kapitasi dan tidak boleh dibebankan kepada
peserta.
b. Penggunaan obat di luar Formularium nasional di FKRTL
hanya dimungkinkan setelah  mendapat rekomendasi dari
Ketua Komite Farmasi dan Terapi dengan persetujuan Komite
Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang biayanya
sudah termasuk dalam tarif INA CBGs dan tidak boleh
dibebankan kepada peserta.

E. Peningkatan Kelas Perawatan  
1. Peserta JKN, kecuali peserta PBI, dimungkinkan untuk
meningkatkan kelas perawatan atas permintaan sendiri pada
FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
2. Untuk pasien yang melakukan pindah kelas perawatan atas
permintaan sendiri dalam satu episode perawatan hanya
diperbolehkan untuk satu kali pindah kelas perawatan.
3. Khusus bagi pasien yang meningkatkan kelas perawatan (kecuali
peserta PBI Jaminan Kesehatan):  
a. sampai dengan kelas I, maka diberlakukan urun biaya selisih
tarif INA-CBGs kelas ruang perawatan yang dipilih dengan
tarif INA-CBGs yang menjadi haknya.  
b. Jika naik ke kelas perawatan VIP, maka diberlakukan urun
biaya sebesar selisih tarif VIP lokal dengan tarif INA-CBGs
kelas perawatan yang menjadi haknya.  
4. Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh,
peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi
paling lama 3 (tiga) hari.  Selanjutnya dikembalikan ke ruang
perawatan yang menjadi haknya.  Bila masih belum ada ruangan
sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke
fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut
menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.
5. Apabila kelas sesuai hak peserta penuh dan kelas satu tingkat
diatasnya penuh, peserta dapat dirawat di kelas satu tingkat lebih
rendah paling lama 3 (tiga) hari dan kemudian dikembalikan ke
kelas perawatan sesuai dengan haknya. Apabila perawatan di
 
- 28 -
kelas yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3 (tiga) hari, maka
BPJS Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai dengan kelas dimana
pasien dirawat.
6.  Bila semua kelas perawatan di rumah sakit tersebut penuh maka
rumah sakit dapat menawarkan untuk dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang setara dengan difasilitasi oleh FKRTL yang
merujuk dan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan.
7. Rumah sakit harus memberikan informasi mengenai biaya yang
harus dibayarkan akibat dengan peningkatan kelas perawatan.  
8. Dalam hal peserta JKN (kecuali peserta PBI) menginginkan
kenaikan kelas perawatan atas permintaan sendiri, peserta atau
anggota keluarga harus menandatangani surat pernyataan
tertulis dan selisih biaya menjadi tanggung jawab peserta.  
 
F. Prosedur Pelayanan
Tata Cara Mendapatkan Pelayanan Kesehatan
1. Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
a. Setiap peserta harus terdaftar pada FKTP yang telah bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan untuk memperoleh pelayanan.
b. Menunjukan nomor identitas peserta JKN.
c. Peserta memperoleh pelayanan kesehatan pada FKTP.
d. Jika diperlukan sesuai indikasi medis peserta dapat
memperoleh pelayanan rawat inap di FKTP atau dirujuk ke
FKRTL.

2. Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
(FKRTL)
a. Peserta datang ke Rumah Sakit dengan menunjukkan nomor
identitas peserta JKN dan surat rujukan, kecuali kasus
emergency, tanpa surat rujukan
b. Peserta menerima Surat Eligibilitas Peserta (SEP) untuk
mendapatkan pelayanan.
c. Peserta dapat memperoleh pelayanan rawat jalan dan atau
rawat inap sesuai dengan indikasi medis.
d. Apabila dokter spesialis/subspesialis memberikan surat
keterangan bahwa pasien masih memerlukan perawatan di
 
- 29 -
FKRTL tersebut, maka untuk kunjungan berikutnya pasien
langsung datang ke FKRTL (tanpa harus ke FKTP terlebih
dahulu) dengan membawa surat keterangan dari dokter
tersebut.   
e. Apabila dokter spesialis/subspesialis memberikan surat
keterangan rujuk balik, maka untuk perawatan selanjutnya
pasien langsung ke FKTP membawa surat rujuk balik dari
dokter spesialis/subspesialis.  
f. Apabila dokter spesialis/subspesialis tidak memberikan surat
keterangan sebagaimana dimaksud pada poin (d) dan (e),
maka pada kunjungan berikutnya pasien harus melalui FKTP.  
g. Fisioterapis dapat menjalankan praktik pelayanan Fisioterapi
secara mandiri (sebagai bagian dari jejaring FKTP untuk
pelayanan rehabilitasi medik dasar) atau bekerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.  
h. Pelayanan rehabilitasi medik di FKRTL dilakukan oleh dokter
spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medik.
i. Dalam hal rumah sakit belum memiliki dokter spesialis
kedokteran fisik dan rehabilitasi medik, maka kewenangan
klinis dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medik
dapat diberikan kepada dokter yang selama ini sudah
ditugaskan sebagai koordinator pada bagian/ departemen/
instalasi rehabilitasi medik rumah sakit, dengan kewenangan
terbatas sesuai kewenangan klinis dan rekomendasi surat
penugasan klinis yang diberikan oleh komite medik rumah
sakit kepada direktur/kepala rumah sakit.
j. Apabila dikemudian hari rumah sakit tersebut sudah memiliki
dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medik maka
semua layanan rehabilitasi medik kembali menjadi wewenang
dan tanggung jawab dokter spesialis kedokteran fisik dan
rehabilitasi medik.

3. Pelayanan Kegawatdaruratan (Emergency):
a. Pada keadaan kegawatdaruratan (emergency), seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) baik fasilitas
kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan atau
belum bekerja sama, wajib memberikan pelayanan
penanganan pertama kepada peserta JKN.
 
- 30 -
b. Fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan menarik biaya kepada peserta.
c. Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan
daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat
dipindahkan

G. Koordinasi Manfaat/Coordination of Benefit (COB)  
1. BPJS Kesehatan melakukan koordinasi manfaat dengan program
jaminan sosial di bidang kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu
lintas serta jaminan kesehatan lainnya.
2. Apabila fasilitas kesehatan tidak berkerja sama dengan BPJS
Kesehatan, maka mekanisme penjaminannya disepakati bersama
antara BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan tambahan atau
badan penjamin lainnya. Ketentuan teknis lebih lanjut diatur
dalam peraturan BPJS Kesehatan.
3. Ketentuan mengenai tata cara koordinasi manfaat diatur dalam
perjanjian kerjasama antara BPJS Kesehatan dan penyelenggara
program jaminan sosial di bidang kecelakaan kerja dan
kecelakaan lalu lintas atau penyelenggara program asuransi
kesehatan tambahan atau badan penjamin lainnya.





 
 

A. Ketentuan Umum
- 31 -
BAB V
PENDANAAN
1. Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan
secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah
untuk program Jaminan Kesehatan Nasional.
2. Dana Kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar
dimuka kepada FKTP oleh BPJS Kesehatan berdasarkan jumlah
peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan.
3. Pengelolaan Dana Kapitasi adalah tatacara penganggaran,
pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban dana
kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan.
4. Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS
Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan
kesehatan yang diberikan.
5. Pola pembayaran Case Based Groups adalah salah satu pola
pembayaran prospektif yang berupa pengelompokan diagnosis dan
prosedur yang memiliki ciri klinis dan penggunaan sumber daya
yang mirip atau sama.
6. Pengelolaan dan pemanfaatan dana di FKTP dan FKRTL milik
pemerintah pengaturannya mengikuti ketentuan peraturan
perundangan, sedangkan pengelolaan dan pemanfaatan dana di
FKTP dan FKRTL milik swasta pengaturannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku pada faskes swasta tersebut.
7. Fasilitas kesehatan tidak diperbolehkan meminta iur biaya kepada
peserta selama mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan
sesuai dengan haknya.
8. Fasilitas Kesehatan mengajukan klaim setiap bulan secara reguler
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, kecuali kapitasi, tidak
perlu diajukan klaim oleh Fasilitas Kesehatan.
9. Klaim yang diajukan oleh fasilitas kesehatan terlebih dahulu
dilakukan verifikasi oleh verifikator BPJS Kesehatan yang
tujuannya adalah untuk menguji kebenaran administrasi
pertanggungjawaban pelayanan yang telah dilaksanakan oleh
fasilitas kesehatan.  Ketentuan mengenai verifikasi klaim FKTP
 
- 32 -
dan FKRTL diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Verifikasi
Klaim yang diterbitkan BPJS Kesehatan.
10. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima
belas) hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap di Kantor
Cabang/Kantor Layanan Operasional Kabupaten/Kota BPJS
Kesehatan.
11. BPJS Kesehatan wajib memberikan feedback atas telaah hasil
verifikasi terhadap perbedaan biaya yang diajukan dengan yang
disetujui.  
12. FKRTL wajib mengirimkan softcopy klaim individual yang sudah
dibayar oleh BPJS Kesehatan ke Kementerian Kesehatan cq Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan.
13. FKTP dan FKRTL yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
menagihkan biaya pelayanan gawat darurat secara langsung
kepada BPJS Kesehatan.
14. BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan gawat darurat
menggunakan tarif INA CBGs sesuai dengan penetapan kelas
rumah sakit oleh Menteri Kesehatan dan regionalisasi tarif yang
berlaku di wilayah tersebut.  
15. FKRTL yang belum memiliki penetapan kelas, menggunakan tarif
INA-CBGs Rumah Sakit kelas D.
16. Kadaluarsa Klaim
a. Klaim Kolektif


 
 

 
Batas waktu maksimal pengajuan klaim bagi Fasilitas
Kesehatan milik Pemerintah maupun Swasta, baik Tingkat
Pertama maupun Tingkat Lanjutan adalah 2 (dua) tahun
setelah pelayanan diberikan.
b. Klaim Perorangan
Batas waktu maksimal pengajuan klaim perorangan adalah
2 (dua) tahun setelah pelayanan diberikan, kecuali diatur
secara khusus.
 
- 33 -
B. Sumber  Pendanaan
Sumber pendanaan dalam penyelenggaraan JKN berasal dari
iuran peserta PBI dan bukan PBI.
1. Iuran Peserta PBI dibayar oleh Pemerintah.
2. Iuran Peserta Bukan PBI:
a. Pekerja Penerima Upah dibayar oleh Pekerja dan Pemberi
Kerja.
b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dibayar
oleh peserta yang bersangkutan.

C. Mekanisme Pembayaran
1. Mekanisme Pembayaran Iuran
Mekanisme pembayaran iuran peserta kepada BPJS Kesehatan
disesuaikan dengan kepesertaan yang terdaftar di BPJS
Kesehatan.
a. Iuran bagi peserta PBI dibayarkan oleh Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
b. Iuran bagi peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah
dibayarkan oleh Pemerintah Daerah dengan besaran iuran
minimum sama dengan besar iuran untuk peserta PBI.
c. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah
dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Pemberi kerja memungut iuran dari pekerja dan
membayar iuran yang menjadi tanggung jawab pemberi
kerja kemudian iuran disetorkan ke BPJS Kesehatan.
2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pemberi
kerja menyetorkan iuran kepada BPJS Kesehatan melalui
rekening kas negara dengan tata cara pengaturan
penyetoran dari kas negara kepada BPJS Kesehatan
sebagaimana diatur oleh Kementerian Keuangan.
d. Iuran bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
Bukan Pekerja dibayarkan oleh peserta sendiri kepada BPJS
Kesehatan sesuai dengan kelas perawatannya.  
e. Iuran bagi penerima pensiun, veteran, dan perintis
kemerdekaan dibayar oleh pemerintah kepada BPJS
Kesehatan.
 
- 34 -
2. Mekanisme Pembayaran ke Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar kepada FKTP dengan Kapitasi
dan Non Kapitasi. Untuk FKRTL, BPJS Kesehatan akan membayar
dengan sistem paket INA CBG’s dan di luar paket INA CBGs.
3. Mekanisme Pembayaran Kapitasi
Pembayaran Kapitasi oleh BPJS Kesehatan didasarkan pada
jumlah peserta yang terdaftar di FKTP sesuai dengan data BPJS
Kesehatan. Pembayaran kapitasi kepada FKTP dilakukan oleh
BPJS Kesehatan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan
berjalan. Sebelum diundangkannya Peraturan Presiden
(PERPRES) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Milik Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri
Kesehatan (PERMENKES) Nomor 19 Tahun 2014 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi JKN Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan
dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, pembayaran Dana
Kapitasi oleh BPJS ke FKTP Pemerintah Daerah langsung ke
Dinas Kesehatan Kab/Kota yang selanjutnya disetor ke Kas
Daerah (KASDA) atau langsung dari BPJS Kesehatan ke Kas
Daerah sebagai penerimaan daerah.
Sejak diundangkannya Perpres 32/2014 dan Permenkes 19/2014
dana Kapitasi langsung dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke FKTP
milik Pemerintah Daerah.  
4. Mekanisme Pembayaran Klaim Non Kapitasi
Pembayaran klaim non Kapitasi pelayanan JKN oleh BPJS
Kesehatan di FKTP milik Pemerintah Daerah dilakukan sesuai
ketentuan yang berlaku. Pembayaran klaim non kapitasi di FKTP
milik Pemerintah Daerah meliputi:
a. pelayanan ambulan;
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan program rujuk balik;
d. pelayanan skrining kesehatan tertentu termasuk pelayanan
terapi krio;
e. rawat inap tingkat pertama;
f. pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan
atau dokter;
g. pelayanan KB berupa MOP/vasektomi;
 
- 35 -
h. kompensasi pada daerah yang belum tersedia fasilitas
kesehatan yang memenuhi syarat;
i. pelayanan darah di FKTP; dan
j. pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan yang tidak
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.  
5. Mekanisme Pembayaran INA CBGs
Pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem
INA CBGs terhadap FKRTL berdasarkan pada pengajuan klaim
dari FKRTL baik untuk pelayanan rawat jalan maupun untuk
pelayanan rawat inap. Klaim FKRTL dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan paling lambat 15 hari setelah berkas klaim diterima
lengkap. Pengaturan lebih lanjut tentang sistem paket INA CBGs
di atur lebih  lanjut  dalam Petunjuk Teknis INA CBGs.
6. Mekanisme Pembayaran di luar paket INA CBGs
Pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem di
luar paket INA CBGs terhadap FKRTL berdasarkan pada
ketentuan Menteri Kesehatan.

D. Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana  
1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
a. FKTP yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
(PPK) Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
 
1) Dana Kapitasi
a) Pengelolaan dan pemanfataan dana kapitasi mulai bulan
Januari sampai dengan bulan April tahun 2014 dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pengelolaan keuangan daerah.
b) Untuk memanfaatkan kembali Dana Kapitasi yang telah
disetorkan ke Kas Daerah oleh FKTP Milik Pemerintah
Daerah, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus;
(1) mengusulkan adanya peraturan kepala daerah untuk
pemanfaatan dana tersebut; (2) membuat dan
mengusulkan dalam bentuk program dan kegiatan pada
RKA-DPA SKPD Dinas Kesehatan.
c) Dalam hal pemerintah daerah belum menetapkan
bendahara dan rekening dana kapitasi JKN dan BPJS
 
 
- 36 -
membayar dana kapitasi ke rekening lama, maka dana
kapitasi tersebut harus disetor ke kas daerah.
d) Setelah pemerintah daerah menetapkan bendahara dan
rekening dana kapitasi JKN, dinas kesehatan
mengusulkan kepada dinas PPKAD untuk melakukan
reklas/pemindahbukuan dana kapitasi dari BUD ke
masing-masing rekening dana kapitasi JKN FKTP sesuai
dengan dana kapitasi yang diterima oleh FKTP.
e) Dalam melakukan pembagian jasa pelayanan, pemerintah
daerah dapat menambah variabel antara lain  kinerja,
status kepegawaian, dan masa kerja sesuai dengan
kondisi daerah yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan.
f) Dalam menghitung jumlah/nilai setiap tenaga dilakukan
secara proporsional dengan melakukan elaborasi variabel
jenis ketenagan dan/atau jabatan dengan variabel
kehadiran.
g) Perhitungan pembagian jasa pelayanan kesehatan dapat
diformulasikan sebagai berikut :
 

 
            Keterangan:
1. Poin per hari adalah poin sesuai ketenagaan dibagi maksimal jumlah
hari kerja efektif dalam satu bulan.
2. Jumlah hari tidak masuk kerja adalah jumlah ketidakhadiran dalam
satu bulan.
3. Contoh perhitungan Jasa Pelayanan Kesehatan terlampir.
 
 
 
- 37 -
g) Alokasi Dana Kapitasi untuk dukungan biaya
operasional pelayanan kesehatan dimanfaatkan
untuk; (1) obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai; dan (2) kegiatan operasional pelayanan
kesehatan lainnya
h) Dukungan kegiatan operasional pelayanan kesehatan
lainnya, meliputi:
(1) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya.
Untuk kegiatan ini dana yang ada antara lain dapat
dibelanjakan seperti biaya makan-minum, Jasa
profesi Narasumber, foto copy bahan, service ringan
alat kesehatan, perjalanan.
(2) kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan
perorangan. Dana yang ada antara lain dapat
dibelanjakan seperti perjalanan, uang harian.
(3) operasional untuk puskesmas keliling. Dana yang
ada antara lain dapat dibelanjakan seperti Bahan
Bakar Minyak (BBM), penggantian Oli, suku cadang
kendaraan pusling.
(4) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau
(5) administrasi keuangan dan sistem informasi. Dana
yang ada antara lain dapat dibelanjakan seperti
perjalanan, uang harian, foto copy bahan, belanja
piranti keras dan piranti lunak dalam mendukung
implementasi sistem informasi JKN, biaya
operasional sistem informasi.
 
i) Penggunaan Dana Kapitasi untuk dukungan biaya
operasional pelayanan kesehatan sebagaimana
tersebut di atas dilaksanakan tetap mengacu pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 
2) Dana Non Kapitasi
a) Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Non Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional pada FKTP Milik
Pemerintah Daerah mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan
daerah.

 
 
- 38 -
b) Dana Non Kapitasi yang telah disetorkan ke Kas Daerah
oleh FKTP dapat dimanfaatkan kembali dengan cara
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus; (1)
mengusulkan adanya peraturan kepala daerah untuk
pemanfaatan dana tersebut; (2) membuat dan
mengusulkan dalam bentuk program dan kegiatan pada
RKA-DPA SKPD Dinas Kesehatan.

b. FKTP BLUD
Untuk FKTP BLUD mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan
dana baik kapitasi maupun non kapitasi sepenuhnya
dilakukan berdasarkan ketentuan BLUD.

c. FKTP lainnya milik Pemerintah
1) Untuk FKTP lainnya milik Pemerintah mekanisme
pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi akan diatur
tersendiri melalui Peraturan Menteri Keuangan.
2) Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP milik Pemerintah
dimanfaatkan seluruhnya untuk:
a) pembayaran jasa pelayanan kesehatan; dan
b) dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan  
3) Dana kapitasi yang digunakan untuk Jasa Pelayanan
dialokasikan antara 40% - 60% dari total pengembalian
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan sisanya
dimanfaatkan untuk dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan
4) Sedangkan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan dana
non kapitasi sepenuhnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.
 
d. Klinik Pratama dan Dokter/Dokter Gigi Praktik
Pemanfaatan dan Pertanggungjawaban dana JKN baik
kapitasi dan non kapitasi di Klinik Pratama dan
Dokter/Dokter Gigi Praktik sepenuhnya dilakukan atas
ketentuan pada Klinik Pratama/Dokter/Dokter Gigi Praktik.
 
e. Bidan Jejaring dari FKTP
Pada penyelenggaraan JKN Bidan sebagai pemberi pelayanan
kebidanan dan neonatal merupakan jejaring dari FKTP yang
 
- 39 -
telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.  Dalam rangka
pembinaan administrasi terhadap Bidan sebagai jejaring,
maka FKTP di luar milik Pemerintah Daerah dapat
mengenakan biaya pembinaan dengan besaran maksimal 10%
dari total klaim.  
Dalam hal disuatu daerah Bidan berjejaring dengan FKTP
milik Pemerintah Daerah, klaim dilakukan melalui FKTP milik
Pemerintah Daerah. Setelah dibayar oleh BPJS FKTP Milik
Pemerintah Daerah segera membayarkan secara utuh kepada
Bidan Jejaring sesuai dengan besaran klaim terhadap
pelayanan yang diberikan.
 
2. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
a. Mekanisme Pemanfaatan:
1) Rumah Sakit/Balai Non BLU/Non BLUD
 Dana hasil pembayaran klaim, bagi Rumah Sakit/Balai
milik pemerintah/pemerintah daerah yang belum berstatus
BLU/BLUD, pengelolaan dan pemanfaatannya disesuaikan
dengan ketentuan perundangan.  
2) Rumah Sakit/Balai BLU/BLUD
 Dana hasil pembayaran klaim, bagi Rumah Sakit/Balai
milik pemerintah/pemerintah daerah yang berstatus
BLU/BLUD, pengelolaan dan pemanfaatannya mengikuti
ketentuan BLU/BLUD.  
3) Rumah Sakit Swasta/Klinik Utama
Dana hasil pembayaran klaim,bagi Rumah Sakit
Swasta/Klinik Utama pengaturannya diserahkan kepada
fasilitas kesehatan tersebut.
b. Besaran jasa pelayanan kesehatan di FKRTL milik
Pemerintah dalam kisaran 30 - 50% (tiga puluh sampai
dengan lima puluh persen) dari total pendapatan fasilitas
kesehatan tersebut. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjutan milik swasta pengaturannya
diserahkan kepada fasilitas kesehatan tersebut.

 
Sesuai UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara Pasal 25 ayat (1) bahwa bunga bank dan/atau jasa giro
 
yang diperoleh Pemerintah merupakan Pendapatan
Negara/Daerah  
 
 
- 40 -
BAB VI
BADAN PENYELENGGARA

A. Ketentuan Umum
1. Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional adalah BPJS
Kesehatan
2. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang bersifat
nirlaba dan bertanggung jawab kepada Presiden.
3. BPJS Kesehatan berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota
Negara Republik Indonesia, dan mempunyai kantor perwakilan di
provinsi  dan kantor cabang di kabupaten/kota.

B. ORGAN BPJS
Organ BPJS Kesehatan terdiri atas Dewan Pengawas dan
Direksi. Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota yang
terdiri dari 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2 (dua) orang unsur
Pekerja, 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, 1 (satu) orang unsur
Tokoh Masyarakat. Direksi  terdiri  atas  paling  sedikit  5  (lima)
orang anggota yang berasal dari unsur profesional.
 
C. FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN KEWAJIBAN
1. FUNGSI
BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan. Dalam melaksanakan  fungsinya BPJS bertugas untuk:  

2. TUGAS  
Dalam melaksanakan fungsinya BPJS Kesehatan bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi
Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan
Sosial;
f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan
kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial;
dan
g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program
Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat.
 
 
- 41 -
3. WEWENANG
Dalam melaksanakan tugasnya, BPJS Kesehatan berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka
pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan
Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
jaminan sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai
besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada
standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas
kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi
Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang
mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau
dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

4. HAK  

Dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS Kesehatan berhak
untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program
yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

 
 
 
 

5. KEWAJIBAN  
- 42 -
Dalam melaksanakan tugasnya, BPJS Kesehatan berkewajiban
untuk:
a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;.
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS
untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta;
c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan
elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan
dan hasil pengembangannya;
d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur
untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
g. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik
aktuaria yang lazim dan berlaku umum;
h. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang
berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
i. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi
keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
 

BAB VII
- 43 -
MONITORING, EVALUASI DAN PENANGANAN KELUHAN

 
A. Ketentuan Umum
1. Dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional berbagai
pihak melaksanakan monitoring dan evaluasi sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Para pihak yang melakukan monev
yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, Badan Perencanaan
dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS)-Kes).
2. Dalam hal pengembangan program Jaminan Kesehatan Nasional
dan kepesertaan secara menyeluruh merupakan kewenagan
monev dari DJSN.  Sehat atau tidaknya keuangan dalam
penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan
merupakan kewenangan monev dari OJK. Dari sisi
penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan merupakan
kewenagan Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan monev.
Dalam hal evaluasi status kesehatan, kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi, social protection dan fiskal dari penyelengaaraan JKN
merupakan kewenangan Bappenas.
3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan Jaminan
Kesehatan dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama,
Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan telah sesuai dengan
kewenangan dan standar pelayanan medis yang ditetapkan oleh
Menteri.
4. Dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan
kesehatan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan
bertanggung jawab dalam menangani keluhan. Penanganan
keluhan dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

B. Aspek Monitoring Dan Evaluasi
Dalam pelaksanaan Monev penyelenggaraan JKN ada beberapa
aspek yang perlu di monitoring yaitu Kepesertaaan, Fasilitas
Kesehatan, SDM Kesehatan, Obat dan Alat Kesehatan, Utilisasi
Pelayanan dan Keuangan, serta Organisasi dan Kelembagaan.
Sedangkan untuk evaluasi penyelenggaraan JKN aspek yang akan di
 
- 44 -
evaluasi yaitu status kesehatan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi,
jaminan sosial, fiskal, dan lain-lain.  
Monitoring penyelenggaraan pelayanan JKN oleh Kementerian
Kesehatan lebih di prioritaskan pada aspek Fasilitas Kesehatan,
Sumber Daya Manusia Kesehatan, Obat dan Alat Kesehatan, Utilisasi
Pelayanan.

C. Tim Monitoring-Evaluasi Penyelenggaraan Pelayanan JKN
Dalam Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (Monev)
Pelayanan penyelenggaraan JKN yang menjadi kewenangan
Kementerian Kesehatan dibentuk Tim Monev Penyelenggaraan JKN di
tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tim Monev
penyelenggaraan pelayananan JKN dibentuk secara internal dan
lintas program.
Tim Monev penyelenggaran pelayanan JKN tingkat pusat di
tetapkan oleh Menteri Kesehatan, sedangkan Tim Monev
Penyelenggaraan pelayanan JKN di tingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota  ditetapkan dengan SK kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pelaksanaan monev penyelenggaran pelayanan JKN mengacu
pada pedoman monev penyelenggaraan pelayanan JKN.

D. Pelaporan dan Utilization Review
Sesuai dengan Perpres 108 Tahun 2013, BPJS Kesehatan
adalah badan hukum publik yang wajib menyampaikan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk
laporan pengelolaan program tahunan kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya.
Dalam rangka upaya perbaikan mutu penyelenggaraan
pelayanan JKN diperlukan data dan informasi. Untuk itu data dan
informasi tersebut diperoleh dengan lengkap dari fasilitas kesehatan
dan BPJS Kesehatan sebagaimana di amanatkan dalam Permenkes
nomor 71 tahun 2013, bahwa Fasilitas Kesehatan wajib membuat
laporan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan secara berkala
setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan melaporkan
hasil Utilization Review kepada Menteri dan DJSN.  

 
 
- 45 -
E. Penanganan Keluhan
Dalam upaya penanganan keluhan di dalam penyelenggaaan
pelayanan jaminan kesehatan meliputi beberapa prinsip :
1. Prinsip Penanganan Keluhan
a. Obyektif: penanganan keluhan masyarakat harus berdasarkan
fakta atau bukti yang dapat dinilai berdasarkan kriteria
tertentu yang ditetapkan.
b. Responsif: (cepat dan akurat) setiap pengaduan dan
permasalahan perlu ditangani/ditanggapi secara cepat dan
tepat.  
c. Koordinatif: penanganan keluhan masyarakat harus
dilaksanakan dengan kerja sama yang baik di antara pejabat
yang berwenang dan terkait, berdasarkan mekanisme, tata
kerja, dan prosedur yang berlaku, sehingga permasalahan
dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
d. Efektif dan efisien: penanganan keluhan masyarakat harus
dilaksanakan secara tepat sasaran, hemat tenaga, waktu, dan
biaya.
e. Akuntabel: proses penanganan keluhan masyarakat dan
tindak lanjutnya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
dan prosedur yang berlaku.
f. Transparan: penanganan keluhan masyarakat dilakukan
berdasarkan mekanisme dan prosedur yang jelas dan terbuka,
sehingga masyarakat yang berkepentingan dapat mengetahui
perkembangan tindak lanjutnya.

2. Mekanisme Penanganan Keluhan
Penanganan keluhan merupakan salah satu instrumen untuk
menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan, baik yang bersifat
administratif maupun bersifat medis. Permasalahan bisa terjadi
antara Peserta dengan Fasilitas Kesehatan; antara Peserta dengan
BPJS Kesehatan; antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas
Kesehatan; atau antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas
Kesehatan.  

 
 
- 46 -
Mekanisme yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan keluhan,
terdiri atas :  
a. Apabila terjadi masalah antara Peserta dengan fasilitas
kesehatan atas pelayanan yang diberikan tidak memuaskan
maka Peserta dapat mengajukan pengaduan/keluhan  kepada
Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan maka sebaiknya diselesaikan oleh para pihak
secara musyawarah. Jika keluhan tidak dapat diselesaikan,
maka dapat diteruskan ke jenjang selanjutnya, yaitu ke BPJS
Kesehatan setempat, Tim Monev Kabupaten/Kota, Tim Monev
Provinsi, Tim Monev Pusat, dan Menteri Kesehatan selaku
mediator).
b. Apabila terjadi masalah antara Peserta dengan BPJS
Kesehatan atas pelayanan yang diberikan tidak memuaskan
maka  Peserta dapat mengajukan keluhan  kepada BPJS
Kesehatan setempat untuk penyelesaian masalah secara
musyawarah oleh para pihak. Jika keluhan tidak dapat
diselesaikan, maka dapat diteruskan ke jenjang selanjutnya,
yaitu Tim Monev Kabupaten/Kota, Tim Monev Provinsi, Tim
Monev Pusat, dan Menteri Kesehatan selaku mediator).
c. Apabila terjadi permasalahan antara BPJS Kesehatan dengan
Fasilitas Kesehatan maka sebaiknya diselesaikan secara
musyawarah oleh para pihak. Jika penanganan keluhan tidak
dapat diselesaikan, maka dapat diteruskan ke jenjang
selanjutnya yaitu Tim Monev Kabupaten/Kota, Asosiasi
Fasilitas Kesehatan setempat, Tim Monev Provinsi, Tim Monev
Pusat, dan Menteri Kesehatan selaku mediator).
d. Apabila terjadi permasalahan antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan maka sebaiknya diselesaikan
secara musyawarah oleh para pihak. Jika penanganan
keluhan tidak dapat diselesaikan, maka dapat diteruskan ke
jenjang selanjutnya yaitu Tim Monev Kabupaten/Kota, Tim
Monev Provinsi, Tim Monev Pusat, dan Menteri Kesehatan
selaku mediator).

Apabila penanganan keluhan atas permasalahan yang dihadapi
oleh para pihak baik antara Peserta dengan Fasilitas Kesehatan,
Peserta dengan BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan dengan BPJS
Kesehatan, BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan
setelah dilakukan mediasi oleh Menteri Kesehatan maka dapat
 
 
- 47 -
diteruskan penyelesaiannya melalui pengadilan sesuai ketentuan
peraturan perundang undangan.
3. Mekanisme Penanganan Keluhan
Penanganan keluhan merupakan salah satu instrumen untuk
menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan, baik yang bersifat
administratif maupun bersifat medis. Permasalahan bisa terjadi
antara Peserta dengan Fasilitas Kesehatan; antara Peserta dengan
BPJS Kesehatan; antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas
Kesehatan; atau antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas
Kesehatan.  
Mekanisme yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan keluhan,
terdiri atas :  
a. Apabila Peserta memiliki keluhan terhadap pelayanan yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan, Peserta dapat mengajukan
pengaduankepada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan. Jika penanganan keluhan tidak
dapat diselesaikan, maka dapat diteruskan ke jenjang
selanjutnya (melalui Tim Monev Kabupaten/Kota, Tim
Monev Provinsi, Tim Monev Pusat, dan Menteri Kesehatan).
b. Apabila Peserta memiliki keluhan terhadap pelayanan yang
diberikan BPJS Kesehatan, maka dapat menyampaikan
pengaduan kepada BPJS Kesehatan setempat. Jika
penanganan keluhan tidak dapat diselesaikan, maka dapat
diteruskan ke jenjang selanjutnya (melalui Tim Monev
Kabupaten/kota, Tim Monev Provinsi, Tim Monev Pusat, dan
Menteri Kesehatan).
c. Apabila terjadi permasalahan antara BPJS Kesehatan dengan
Fasilitas Kesehatan atau antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan maka sebaiknya diselesaikan
secara musyawarah oleh para pihak. Jika penanganan
keluhan tidak dapat diselesaikan, maka dapat diteruskan ke
jenjang selanjutnya (melalui Tim Monev Kabupaten/kota,
Tim Monev Provinsi, Tim Monev Pusat, dan Menteri
Kesehatan).

 
 
- 48 -
BAB VIII
P E N U T U P

 Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup
layak dan produktif, untuk itu diperlukan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang terkendali biaya dan mutunya, melalui program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
 Pengelolaan dana pelayanan kesehatan bagi peserta program
JKN dana amanah yang harus harus dikelola secara efektif dan efisien
dan dilaksanakan secara terkoordinasi dan terpadu dari berbagai pihak
terkait baik pusat maupun daerah.
 Diharapkan pelayanan kesehatan bagi penduduk melalui program
JKN ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat seutuhnya. Semoga apa yang
menjadi harapan kita semua yaitu jaminan kesehatan bagi
semua/Universal Health Coverage pada tahun 2019 dapat terwujud
dengan baik dan kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangsihnya, baik gagasan pemikiran, tenaga dan kontribusi lainnya
mendapatkan imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
 

 

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,


ttd
 
NAFSIAH MBOI
 

Peraturan tentang Keanggotaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota BPRS

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2014
TENTANG
KEANGGOTAAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA
BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan
Pengawas Rumah Sakit perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Keanggotaan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit
Indonesia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang
Badan Pengawas Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5428);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :  PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
KEANGGOTAAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
ANGGOTA BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT INDONESIA.
 
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.  
2. Badan...
- 2 -
 
2. Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang selanjutnya disingkat
BPRS adalah unit nonstruktural pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang
melakukan pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara eksternal
yang bersifat nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur
masyarakat.  
3. Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang selanjutnya disingkat BPRS
Provinsi adalah unit nonstruktural pada dinas kesehatan provinsi yang
melakukan pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara eksternal
yang bersifat nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur
masyarakat.  
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.  
5. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang mempunyai tugas di
bidang pembinaan dan pengawasan rumah sakit pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

BAB II
KEANGGOTAAN
 
Pasal 2
(1) Keanggotaan BPRS ditetapkan oleh Menteri.
(2) Keanggotaan BPRS berjumlah paling banyak 5 (lima) orang terdiri atas 1
(satu) orang ketua merangkap anggota dan paling banyak 4 (empat)
orang anggota.
(3) Jabatan Ketua BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh
anggota dan ditetapkan dalam rapat pleno anggota.

Pasal 3
(1) Keanggotaan BPRS terdiri atas unsur:
a. Kementerian Kesehatan 1 (satu) orang;
b. asosiasi perumahsakitan1 (satu) orang;
c. organisasi profesi bidang kesehatan 2 (dua) orang; dan
d. tokoh masyarakat 1 (satu) orang.  
(2) Unsur asosiasi perumahsakitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b diwakili oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

(3) Unsur...
- 3 -
 
(3) Unsur organisasi profesi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diwakili oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).  

Pasal 4
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPRS, setiap calon anggota
BPRS harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat fisik dan mental;
c. tidak menjadi anggota salah satu partai politik;
d. cakap, jujur, memiliki moral, etika, integritas yang tinggi, memiliki
reputasi yang baik, dan memahami masalah yang berkaitan dengan
perumahsakitan;  
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
f. melepaskan jabatan pemerintahan struktural dan/atau jabatan
lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota BPRS; dan
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.  
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
calon anggota BPRS yang berasal dari unsur tokoh masyarakat juga
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mempunyai komitmen yang tinggi untuk kepentingan peningkatan
mutu pelayanan dan keselamatan pasien; dan
b. bukan tenaga kesehatan.  
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
calon anggota BPRS yang berasal dari unsur Kementerian Kesehatan
harus merupakan Pegawai Negeri Sipil aktif.

Pasal 5
(1) Pengusulan keanggotaan BPRS yang berasal dari unsur Kementerian
Kesehatan dan tokoh masyarakat dilakukan oleh Direktur Jenderal
sebanyak 2 (dua) orang dari tiap-tiap unsur.  
(2) Pengusulan keanggotaan BPRS yang berasal dari Persatuan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dilakukan oleh pimpinan
dari masing-masing organisasi sebanyak 2 (dua) orang dari tiap-tiap
unsur.  
Pasal 6...
- 4 -
 
Pasal 6
(1) Usulan Calon Anggota BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
disampaikan secara tertulis kepada Menteri disertai dengan keterangan
mengenai :
a. data diri yang bersangkutan berupa:
1. daftar riwayat hidup;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk;
3. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;  
b. surat pernyataan kesediaan menjadi Calon Anggota BPRS; dan
c. surat pernyataan kesediaan melepaskan jabatan pemerintahan
struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama
menjadi anggota BPRS.
(2) Jabatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah
jabatan yang ditetapkan oleh Presiden atau Menteri.
(3) Untuk periode berikutnya usulan keanggotaan diajukan paling lambat 3
(tiga) bulan sebelum masa jabatan anggota BPRS periode berjalan
berakhir.

BAB III
PENGANGKATAN
 
Pasal 7
(1) Menteri membentuk Tim Seleksi untuk memilih calon anggota BPRS
yang diketuai oleh Direktur Jenderal.
(2) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan
seleksi terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
(3) Hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
Menteri.

Pasal 8
(1) Menteri menetapkan anggota BPRS berdasarkan hasil seleksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Keanggotaan BPRS diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(3) Anggota BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya sepanjang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.  
Pasal 9...
- 5 -
 
Pasal 9
(1) Pada saat pengangkatan anggota BPRS, Menteri bersamaan menetapkan
jabatan Sekretaris BPRS.
(2) Sekretaris BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh staf
yang ahli di bidang teknologi informasi dan administrasi umum yang
bekerja secara purnawaktu.

BAB IV
PEMBERHENTIAN
 
Pasal 10
(1) Anggota BPRS berhenti atau diberhentikan karena:  
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri;
c. meninggal dunia;
d. tidak dapat menjalankan tugas selama 2 (dua) bulan dalam masa
jabatannya; atau
e. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anggota BPRS yang berasal dari unsur Kementerian Kesehatan
diberhentikan apabila yang bersangkutan telah mencapai batas usia
pensiun atau diangkat dalam jabatan struktural.  
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh
Direktur Jenderal kepada Menteri.

Pasal 11
(1) Dalam hal anggota BPRS berhenti atau diberhentikan dalam masa
jabatannya, Menteri mengangkat anggota BPRS pengganti yang berasal
dari unsur yang sama dengan anggota BPRS yang digantikan.  
(2) Masa jabatan anggota BPRS pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan sisa masa jabatan anggota BPRS yang
digantikannya.  
(3) Pengangkatan anggota BPRS pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8
Peraturan Menteri ini.
BAB V...
 
- 6 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12
 
Gubernur dalam menetapkan Peraturan Gubernur mengenai keanggotaan
BPRS Provinsi, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota
BPRS Provinsi berpedoman pada Peraturan Menteri ini.

Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2014

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
         
 ttd

NAFSIAH MBOI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
   
 ttd

    AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 585

Peraturan Pemerintah tentang BPRS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 49 TAHUN 2013            
TENTANG
BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


 
Menimbang:   bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 61 UndangUndang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan
Pengawas Rumah Sakit;

Mengingat:  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN
PENGAWAS RUMAH SAKIT.




 
BAB  I . . .

BAB I



 

- 2 -
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat.  
2. Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah unit nonstruktural pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan yang melakukan
pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara eksternal
yang bersifat nonteknis perumahsakitan yang melibatkan
unsur masyarakat.  
3. Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang selanjutnya
disingkat BPRS Provinsi adalah unit nonstruktural pada
dinas kesehatan provinsi yang melakukan pembinaan dan
pengawasan rumah sakit secara eksternal yang bersifat
nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur
masyarakat.  
4. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.  Pemerintah . . .



 

- 3 -

5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.  

BAB II
BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT INDONESIA
 
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 2
(1) Pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan
secara eksternal dilakukan oleh badan pengawas rumah
sakit.
(2) Untuk pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
membentuk BPRS di tingkat pusat.

Bagian Kedua
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang
 
Pasal 3
BPRS merupakan unit nonstruktural di kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
yang bertanggung jawab kepada Menteri dan dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen.
 
Pasal 4 . . .

Pasal 4



 

- 4 -
BPRS bertugas:
a.  membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit
untuk digunakan oleh BPRS Provinsi;
b.  membentuk  sistem pelaporan dan sistem informasi yang
merupakan jejaring dari BPRS dan BPRS Provinsi; dan
c.   melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, BPRS mempunyai wewenang:
a. menyusun tata cara penanganan pengaduan dan mediasi
oleh BPRS Provinsi;
b. menyusun pedoman, sistem pelaporan, dan sistem
informasi jejaring dari BPRS dan BPRS Provinsi untuk
ditetapkan oleh Menteri;
c. meminta laporan dari BPRS Provinsi dan melakukan
klarifikasi mengenai pengaduan masyarakat dan upaya
penyelesaian sengketa;  
d. meminta laporan mengenai hasil pembinaan dan
pengawasan dari BPRS Provinsi;  
e. meminta informasi dan melakukan koordinasi dengan
BPRS Provinsi, instansi pemerintah, dan lembaga terkait
dalam menyusun pedoman tentang pengawasan rumah
sakit dan membentuk sistem pelaporan dan sistem
informasi;
f.  memberikan . . .



 

- 5 -

f. memberikan rekomendasi kepada Menteri dan gubernur
mengenai pola pembinaan dan pengawasan Rumah Sakit
berdasarkan analisis hasil pembinaan dan pengawasan;  
g. memberikan usulan pembentukan BPRS Provinsi kepada
gubernur; dan
h. memberikan rekomendasi kepada Menteri dan Pemerintah
Daerah untuk mengambil tindakan administratif terhadap
Rumah Sakit yang melakukan pelanggaran.

Bagian Ketiga
Keanggotaan
Pasal 6
BPRS terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan
paling banyak 4 (empat) orang anggota.
 
Pasal  7
(1) Keanggotaan BPRS berjumlah paling banyak 5 (lima)
orang yang terdiri atas unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan;
b. asosiasi perumahsakitan;
c. organisasi profesi bidang kesehatan; dan
d. tokoh masyarakat.



 
(2)  Pengusulan . . .



 

- 6 -

(2) Pengusulan keanggotaan BPRS yang berasal dari unsur
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan dan tokoh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf d
dilakukan oleh direktur jenderal yang mempunyai tugas di
bidang pembinaan dan pengawasan rumah sakit pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
(3) Pengusulan keanggotaan BPRS yang berasal dari unsur
asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi bidang
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c dilakukan oleh pimpinan dari masing-masing
unsur.  
(4) Keanggotaan BPRS ditetapkan oleh Menteri.
 
Pasal 8
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPRS, setiap
calon anggota BPRS harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat fisik dan mental;
c. tidak menjadi anggota salah satu partai politik;
d. cakap, jujur, memiliki moral, etika, integritas yang
tinggi, memiliki reputasi yang baik, dan memahami
masalah yang berkaitan dengan perumahsakitan;
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
f. melepaskan jabatan pemerintahan struktural
dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan
selama menjadi anggota BPRS; dan
 
g. tidak pernah . . .



 

- 7 -

g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), calon anggota BPRS yang berasal dari unsur
tokoh masyarakat juga harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. mempunyai komitmen yang tinggi untuk kepentingan
peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien;
dan
b. bukan tenaga kesehatan.
 
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8
diatur dengan Peraturan Menteri.
 
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 10
(1) Keanggotaan BPRS diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga)
tahun.
(2) Anggota BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya sepanjang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
 
Pasal 11 . . .

Pasal  11



 

- 8 -
(1) Anggota BPRS berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri;
c.  meninggal dunia;
d.  tidak dapat menjalankan tugas selama 2 (dua) bulan
dalam masa jabatannya; atau
e. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anggota BPRS yang berasal dari unsur
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, diberhentikan apabila
yang bersangkutan telah mencapai batas usia pensiun
atau diangkat dalam jabatan struktural.
Pasal 12
(1) Anggota BPRS yang ditetapkan menjadi terdakwa tindak
pidana kejahatan dibebastugaskan dari keanggotaannya.
(2) Pembebastugasan dari keanggotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 13
(1) Dalam hal anggota BPRS berhenti atau diberhentikan
dalam masa jabatannya, Menteri mengangkat anggota
BPRS pengganti yang berasal dari unsur yang sama
dengan anggota BPRS yang digantikan.
(2)  Masa jabatan . . .



 

- 9 -

(2) Masa jabatan anggota BPRS pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan sisa masa jabatan
anggota BPRS yang digantikannya.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 13 diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Kelima
Sekretariat
Pasal  15
(1) BPRS diperbantukan sebuah sekretariat yang
berkedudukan di direktorat jenderal yang mempunyai
tugas di bidang pembinaan dan pengawasan rumah sakit
pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh sekretaris yang secara eks officio dijabat oleh pejabat
struktural eselon III yang menangani bidang
perumahsakitan.
(3) Sekretaris BPRS secara fungsional berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Ketua BPRS dan secara
administrasi berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada atasan langsung.


 
Pasal 16 . . .

Pasal 16



 

- 10 -
Sekretariat BPRS bertugas:
a. membantu pelaksanaan tugas BPRS secara administratif;
dan
b. memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang BPRS.  

Bagian Keenam
Tata Kerja
Pasal  17
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BPRS harus berpedoman
kepada:
a. perencanaan strategis kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
b. rencana kerja kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
c. standar operasional prosedur; dan
d. prinsip akuntabilitas.
(2) BPRS dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi
dengan BPRS Provinsi dan tenaga pengawas rumah sakit.
 
Pasal 18
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BPRS tidak
terpengaruh oleh pihak lain dan bebas dari konflik
kepentingan.
Pasal 19
(1) Pengambilan keputusan BPRS dilakukan dalam rapat
yang dihadiri oleh seluruh anggota.
 
(2)  Rapat . . .



 

- 11 -

(2) Rapat BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengundang pihak lain yang dipandang perlu untuk
mendapatkan masukan dan saran sesuai dengan materi
pembahasan rapat.
(3) Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah
untuk mufakat.
(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai,
pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan
suara berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 20
BPRS melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Menteri
secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu
diperlukan.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 19, dan          
Pasal 20 diatur dengan Peraturan Ketua BPRS.
 
BAB  III
BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT PROVINSI
 
Bagian Kesatu
Umum

 Pasal 22  
(1) Gubernur dapat membentuk BPRS Provinsi untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan nonteknis
perumahsakitan secara eksternal di tingkat provinsi.

 
(2)  Dalam . . .



 

- 12 -

(2) Dalam hal BPRS Provinsi belum dibentuk, tugas
pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan
secara eksternal di tingkat provinsi dilaksanakan oleh
dinas kesehatan provinsi.
Bagian Kedua
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang
Pasal 23
(1) BPRS Provinsi merupakan unit nonstruktural di dinas
kesehatan provinsi yang bertanggungjawab kepada
gubernur dan dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.
(2) BPRS Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh gubernur apabila jumlah Rumah Sakit di
provinsi tersebut paling sedikit 10 (sepuluh) Rumah
Sakit.
 
Pasal 24
BPRS Provinsi bertugas:
a. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di
wilayahnya;
b. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit
di wilayahnya;
c. mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi,
dan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada BPRS;

 
e.  melakukan . . .



 

- 13 -

e. melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan
sebagai bahan pembinaan; dan
f. menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian
sengketa dengan cara mediasi.
 
Pasal 25
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, BPRS Provinsi mempunyai wewenang:
a. melakukan inspeksi penegakan hak dan kewajiban pasien
dan Rumah Sakit di wilayahnya;
b. meminta informasi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban pasien dan Rumah Sakit di
wilayahnya kepada semua pihak yang terkait;
c. meminta informasi tentang penerapan etika Rumah Sakit,
etika profesi, dan peraturan perundang-undangan kepada
Rumah Sakit;
d. memberikan rekomendasi kepada BPRS dan gubernur
mengenai pola pembinaan dan pengawasan Rumah Sakit
berdasarkan analisis hasil pembinaan dan pengawasan;
e. menindaklanjuti pengaduan dalam rangka upaya
penyelesaian sengketa melalui mediasi; dan
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah
untuk mengambil tindakan administratif terhadap Rumah
Sakit yang melakukan pelanggaran.



 
Bagian Ketiga . . .



 

- 14 -

Bagian Ketiga
Keanggotaan
 
Pasal  26
BPRS Provinsi terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap
anggota dan paling banyak 4 (empat) orang anggota.
Pasal  27
(1)  Keanggotaan BPRS Provinsi berjumlah paling banyak 5
(lima) orang yang terdiri atas unsur:
a.  Pemerintah Daerah;
b. asosiasi perumahsakitan;
c. organisasi profesi bidang kesehatan; dan
d.  tokoh masyarakat.
(2) Pengusulan keanggotaan BPRS Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala dinas
kesehatan provinsi.
(3) Keanggotaan BPRS Provinsi ditetapkan oleh gubernur.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPRS Provinsi, setiap
calon anggota BPRS Provinsi harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
 
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan BPRS Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan            
Pasal 28 diatur dengan peraturan gubernur berpedoman pada
Peraturan Menteri.
Bagian Keempat . . .



 

- 15 -

Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
 
Pasal 30
(1) Keanggotaan BPRS Provinsi diangkat untuk masa jabatan
3 (tiga) tahun.
(2) Anggota BPRS Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya sepanjang yang bersangkutan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Pasal 31
(1) Anggota BPRS Provinsi berhenti atau diberhentikan
karena:
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri;
c. meninggal dunia;
d. tidak dapat menjalankan tugas selama 2 (dua) bulan
dalam masa jabatannya; atau
e. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anggota BPRS Provinsi yang berasal dari
unsur Pemerintah Daerah, diberhentikan apabila yang
bersangkutan telah mencapai batas usia pensiun atau
diangkat dalam jabatan struktural.
 

Pasal 32 . . .

Pasal 32



 

- 16 -
(1) Anggota BPRS Provinsi yang ditetapkan menjadi terdakwa
tindak pidana kejahatan dibebastugaskan dari
keanggotaannya.
(2) Pembebastugasan dari keanggotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur.
Pasal 33
(1) Dalam hal anggota BPRS Provinsi berhenti atau
diberhentikan dalam masa jabatan, gubernur mengangkat
anggota BPRS Provinsi pengganti yang berasal dari unsur
yang sama dengan anggota BPRS Provinsi yang digantikan.
(2) Masa jabatan anggota BPRS Provinsi pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan sisa
masa jabatan anggota BPRS Provinsi yang digantikannya.
 
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPRS Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 33 diatur dengan
peraturan gubernur berpedoman pada Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Sekretariat
Pasal  35
(1) BPRS Provinsi diperbantukan sebuah sekretariat yang
berkedudukan di dinas kesehatan provinsi.
(2)  Sekretariat . . .



 

- 17 -

(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh sekretaris yang secara eks officio dijabat
oleh pejabat struktural eselon III yang menangani bidang
perumahsakitan pada dinas kesehatan provinsi.
(3) Sekretaris BPRS Provinsi secara fungsional berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua BPRS
Provinsi dan secara administrasi berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada atasan langsung.

Pasal  36
Sekretariat BPRS Provinsi bertugas:
a. membantu pelaksanaan tugas BPRS Provinsi secara
administratif; dan
b. memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang BPRS
Provinsi.
 
Bagian Keenam
Tata Kerja
Pasal  37
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BPRS Provinsi harus
sesuai dengan pedoman pengawasan Rumah Sakit yang
dibuat oleh BPRS dan mengacu kepada:
a. perencanaan strategis pemerintah provinsi;
b. rencana kerja satuan kerja perangkat daerah
pemerintah provinsi;
c. standar operasional prosedur; dan
d. prinsip akuntabilitas.
(2)  BPRS . . .



 

- 18 -

(2) BPRS Provinsi dalam melaksanakan tugasnya
berkoordinasi dengan BPRS dan tenaga pengawas Rumah
Sakit.
Pasal 38
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BPRS Provinsi
tidak terpengaruh oleh pihak lain dan bebas dari konflik
kepentingan.
Pasal 39
(1) Pengambilan keputusan BPRS Provinsi dilakukan dalam
rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota.
(2) Rapat BPRS Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat mengundang pihak lain yang dipandang perlu
untuk mendapatkan masukan dan saran sesuai dengan
materi pembahasan rapat.
(3) Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah
untuk mufakat.
(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai,
pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan
suara berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 40
BPRS Provinsi melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada
gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktuwaktu
diperlukan.

 
 
Pasal 41 . . .

Pasal 41



 

- 19 -
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BPRS Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan                
Pasal 40 diatur dengan Peraturan Ketua BPRS Provinsi
berpedoman pada Peraturan Ketua BPRS.
 
BAB IV
PENDANAAN
Pasal  42
 
(1) Dana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas BPRS
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
(2) Dana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas BPRS
Provinsi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan
belanja daerah provinsi.
 
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.



 
Agar  . . .



 

- 20 -

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2013  
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
            ttd.
           DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2013  
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                 REPUBLIK INDONESIA,
       ttd.
                     AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 111


 


 


 
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,



 
Wisnu Setiawan
PENJELASAN  
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 49 TAHUN 2013
TENTANG
BADAN PENGAWAS RUMAH SAKIT
 
I. UMUM
Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat
diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai
karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Rumah Sakit
diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan
hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan untuk
mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan Rumah Sakit dan sumber daya manusia di
Rumah Sakit, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar
pelayanan Rumah Sakit, dan memberikan kepastian hukum kepada
pasien, masyarakat, sumber daya  manusia Rumah Sakit, dan Rumah
Sakit.
 
Dalam rangka . . .
 
- 2 -
 




 
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah  melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Rumah Sakit dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan organisasi kemasyaratan lainnya sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing. Pembinaan dan pengawasan bersifat
teknis medis, teknis perumahsakitan, dan nonteknis perumahsakitan.
Pembinaan dan pengawasan dilakukan secara internal dan eksternal.   
Pembinaan dan pengawasan teknis medis dan teknis
perumahsakitan secara internal dilakukan oleh komite medik dan
satuan pemeriksaan internal yang dibentuk oleh Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembinaan dan
pengawasan teknis medis dan teknis perumahsakitan secara eskternal
dilakukan oleh tenaga pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pembinaan dan pengawasan nonteknis
perumahsakitan secara internal dilakukan oleh Dewan Pengawas
Rumah Sakit yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pembinaan dan pengawasan nonteknis
perumahsakitan yang melibatkan unsur masyarakat dilakukan secara
eksternal oleh badan pengawas rumah sakit.
Peraturan Pemerintah tentang Badan Pengawas Rumah Sakit
merupakan pelaksanaan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit. Peraturan Pemerintah ini didasarkan pada
pemikiran bahwa terhadap Rumah Sakit perlu dilakukan pembinaan
dan pengawasan yang diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat, peningkatan
mutu pelayanan kesehatan, keselamatan pasien, pengembangan
jangkauan pelayanan, dan peningkatan kemampuan kemandirian
Rumah Sakit. Badan pengawas rumah sakit terdiri atas BPRS dan
BPRS Provinsi.
Peraturan . . .
- 3 -
 




 
Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai dasar hukum yang
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang badan pengawas rumah sakit.
Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur mengenai
kedudukan, tugas, wewenang, keanggotaan, pengangkatan,
pemberhentian, sekretariat,  dan tata kerja  BPRS dan BPRS Provinsi.  

II.  PASAL DEMI PASAL
 
Pasal 1
          Cukup jelas.
Pasal 2
  Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembinaan dan pengawasan
nonteknis perumahsakitan” adalah pembinaan dan
pengawasan terhadap hal-hal yang terkait dengan mutu
pelayanan Rumah Sakit.  
  Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
  Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
 Cukup jelas.


 
Pasal 6 . . .
- 4 -
 
Pasal 6
          Cukup jelas.
Pasal 7
 Ayat (1)
 Huruf a
 Cukup jelas.
 Huruf b
 Cukup jelas.
 Huruf c




 
Yang dimaksud dengan “organisasi profesi bidang
kesehatan” adalah ikatan profesi atau
perkumpulan tenaga profesi di bidang kesehatan
yang berkaitan langsung dengan perumahsakitan.  
Huruf d
Cukup jelas.
 Ayat (2)
Cukup jelas.
 Ayat (3)
Cukup jelas.
 Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
          Cukup jelas.
Pasal 9
           Cukup jelas.
Pasal 10
  Cukup jelas.
 
Pasal  11 . . .
- 5 -
 
Pasal 11
          Cukup jelas.
Pasal 12
          Cukup jelas.
Pasal 13
         Cukup jelas.
Pasal 14
          Cukup jelas.
Pasal 15
         Cukup jelas.
Pasal 16
         Cukup jelas.
Pasal 17
          Cukup jelas.
Pasal 18
          Cukup jelas.
Pasal 19
          Cukup jelas.
Pasal 20
          Cukup jelas.
Pasal 21
          Cukup jelas.  
Pasal 22
 Cukup jelas.


 




 
Pasal 23 . . .
- 6 -
 
Pasal 23
         Cukup jelas.
Pasal 24
          Cukup jelas.  
Pasal 25
          Huruf a
Cukup jelas.
 Huruf b




 
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, BPRS Provinsi
dapat mengikutsertakan para pakar dalam bidang yang
sesuai dengan kebutuhan.
Huruf c
 Cukup jelas.
 Huruf d
 Cukup jelas.
 Huruf e
 Cukup jelas.
 Huruf f
 Cukup jelas.
Pasal 26
          Cukup jelas.
Pasal 27
          Cukup jelas.  
Pasal 28
 Cukup jelas.  


 
Pasal  29 . . .
- 7 -
 




 
Pasal 29
 Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah Peraturan
Menteri yang mengatur mengenai keanggotaan BPRS.
Pasal 30
          Cukup jelas.  
Pasal 31
          Cukup jelas.  
Pasal 32
          Cukup jelas.
Pasal 33
 Cukup jelas.
Pasal 34
 Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah Peraturan
Menteri yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPRS.
Pasal 35
          Cukup jelas.
Pasal 36
          Cukup jelas.
Pasal 37
         Cukup jelas.
Pasal 38
          Cukup jelas.
Pasal 39
          Cukup jelas.
 
 
Pasal  40 . . .
- 8 -
 
Pasal 40
          Cukup jelas.




 
Pasal 41
Yang dimaksud dengan “Peraturan Ketua BPRS” adalah
Peraturan Ketua BPRS yang mengatur mengenai tata kerja
BPRS.
Pasal 42
          Cukup jelas.
Pasal 43
          Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5428